Sunday

Sate ayam 50 tusuk, Perintah Pertama Presiden Soekarno

Soekarno
Ir. Soekarno - Blog Eotika

Jika kita sebagai orang Indonesia, mungkin tidak akan lepas dari pembicaraan tentang sosok unik Soekarno. Termasuk Saya dan Anda semua.


Kisah ini diceritakan pak Karno dalam biografinya yang ditulis oleh Pengamat Sejarah Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007.



"Nah kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?"



Soekarno pun menjawab, "Baiklah."



Sesederhana itu. Maka jadilah Soekarno sebagai Presiden pertama RI. Namanya negara yang baru seumur sehari, tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar Soekarno. Maka Soekarno pun pulang berjalan kaki.



"Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama. Sate ayam 50 tusuk!" ujar Soekarno.



Itulah perintah pertama presiden RI. "Sate ayam 50 tusuk!"



Pak presiden baru ini kemudian jongkok di pinggir got dekat tempat sampah. Sambil berjongkok, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia itu menghabiskan sate ayam 50 tusuk dengan lahap. Itulah pesta perayaan pelantikannya sebagai Presiden RI.

Saat Soekarno pulang ke rumah, dia menyampaikan dirinya telah dipilih menjadi Presiden pada Fatmawati, istrinya. Fatmawati tidak melompat-lompat kegirangan. Fatmawati menceritakan wasiat ayahnya sebelum meninggal.



"Di malam sebelum bapak meninggal, hanya tinggal kami berdua yang belum tidur. Aku memijitnya untuk mengurangi rasa sakitnya, ketika tiba-tiba beliau berkata 'Aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi...dalam waktu dekat...anakku akan tinggal di istana yang besar dan putih itu'. Jadi ini tidak mengagetkanku. Tiga bulan yang lalu, Bapak sudah meramalkannya," ujar Fatmawati tenang.



Soekarno memang ditakdirkan jadi orang besar dengan segala ceritanya, tapi tetap merakyat dan serta di cintai rakyat.

Sarengat, Kisah Si Manusia Tercepat Asia

28 Agustus 1962, di Stadion Utama Senayan, Jakarta, seorang pemuda jangkung berdiri di garis start lomba lari 100 meter. Sebelum pertandingan dimulai, ia sempat berdoa.
Begitu pertandingan dimulai, ia berlari sangat kencang. Hingga menjadi atlet pertama yang mencapai garis finish di perlombaan itu. Gemuruh tepuk-tangan menyambut kemenangan pemuda itu. Pemuda itu bernama Mohamad Sarengat.

Sarengat, Manusia tercepat Asia
Sarengat - Blog Eotika

Itulah pesta olahraga Asian Games ke-IV tahun 1962 di Jakarta. Dalam ajang olahraga terbesar di Asia itu, 17 negara ikut serta dan 14 cabang olahraga dilombakan. Indonesia sendiri menerjunkan atlet-atlet terbaiknya demi cita-cita mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di panggung dunia.

Dalam kejuaraan itu, Sarengat mempersembahkan 2 medali untuk tim merah-putih: nomor lari 100 meter dan lari gawang 110 meter. Di nomor lari 100 meter, Sarengat mencatat waktu 10.2 detik. Sejak itu dia mendapat gelar “manusia tercepat di Asia”.
Selain di atletik, Indonesia juga berjaya di cabang olahraga lain. Bulu tangkis menyumbangkan lima emas untuk Indonesia. Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Tutang, Unang, dan Liem Tjeng Kiang mendapat emas beregu putra. Minarni, Retno Kustiah, Corry Kawilarang, Happy Herowaty, serta Goei Kiok Nio berjaya di beregu putri. Tiga emas lainnya didulang dari tunggal putra (Tan Joe Hok), tunggal putri (Minarni), dan ganda putri (Minarni/Retno Kustiah).
Di cabang balap sepeda, Hendry Brocks dan kawan-kawan juga menyabet banyak medali emas. Loncat indah tidak mau ketinggalan dengan satu emas (papan 3 meter putri) berkat perjuangan tak kenal menyerah Lanny Gumulya.

Keberhasilan Sarengat dan kawan-kawan saat itu sangat membanggakan. Indonesia menempati urutan kedua dalam perolehan medali di bawah Jepang. Inilah prestasi tertinggi Indonesia dalam sejarah keikutsertaaannya dalam ajang tersebut.
Berita kemenangan Sarengat dan kawan-kawan disiarkan melalui koran, RRI, dan TVRI. Sarengat digambarkan sebagai contoh manusia Indonesia hasil Revolusi di bidang olahraga.
Bung Karno memang menyebut olahraga sebagai salah satu aspek dari Revolusi Indonesia. Ini adalah bagian dari proses nation and character building. Selain sebagai alat membangun mental dan rohani manusia, olahraga juga menjadi sarana membangun karakter bangsa.

Di hadapan para atlet Indonesia, di Sasana Gembira, Bandung, 9 April 1961, Bung Karno berpesan: “Engkau adalah olahragawan. Itulah kau punya wilayah, tetapi dedication of life-mu harus untuk Indonesia. Nah, inilah pesan yang aku berikan pada saat sekarang ini, dengan harapan agar kita nanti, bukan saja di dalam pertandingan-pertandingan Asian Games, tetapi seterusnya kita ini membangun suatu nation Indonesia, nation building Indonesia, yang membuat bangsa Indonesia bangsa yang mulia, bangsa yang tegak berdiri, bangsa yang bahagia.”

Sarengat lahir di Banyumas, Jawa Tengah, tanggal 28 Oktober 1940. Dia adalah anak tertua dari 10 bersaudara. Orang tuanya adalah seorang guru dan sekaligus pemain tenis. Awalnya, bersama Ayahnya, Sarengat bermain tenis dengan bola bekas dan raket seadanya.

Di masa SD hingga SMA, karena terobsesi dengan pamannya yang penjaga gawang PSSI, Mursanyoto, Sarengat kemudian menjadi penjadi penjaga gawang di kesebelasan sekolahnya. Ia kemudian bergabung dengan klub Indonesia Muda (IM) Surabaya. Sayang, ia selalu ditempatkan di bangku cadangan. Akhirnya, ia beralih ke cabang olahraga atletik.

Hingga suatu kali, Sarengat menjuarai lomba lari tingkat SMA di Surabaya. Sejak itu ia dilirik oleh Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) dan diboyong ke Jakarta. Sibuk di olahraga, pendidikan Sarengat agak terganggu. Ia harus mengulang tiga kali untuk bisa lulus di SMA.

Sarengat sempat bertemu Bung Karno. Saat itu Bung Karno berpesan, “Sarengat, rakyat telah melimpahkan kamu di Pelatnas selama setahun, mulai dari pakain kamu dan sepatumu, sekarang rakyat minta bukti.” Kata-kata itulah yang memicu semangat dan tekad Sarengat. Ia berlatih hampir setiap saat. “Latihan itulah yang memicu kecepatan dan kekuatan otot-otot saya,” katanya. Bung Karno sangat menghargai Sarengat. Sampai-sampai Bung Karno berkelar, “Stadion Utama Senayan dibuat untuk Sarengat.”
Selain menjadi olahragawan, Sarengat juga berhasil menuntaskan kuliahnya di Fakultas Kedokteran UI. Ia sempat menjadi Dokter Pribadi Wakil Presiden Adam Malik.

Di tahun 2009, ia tiba-tiba sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Sejak itu, ia keluar masuk rumah sakit. Saat ini Sarengat terbaring lemah karena serangan stroke. Jasa-jasa Sarengat bagi bangsa ini sangat besar. Ia telah menjadi pahlawan bangsa di bidangnya: olahraga.

3 Proklamasi Besar Bangsa Indonesia


proklamasi besar Indonesia
Bagi sebagian orang Indonesia proklamasi mungkin terdengar sangat akrab dengan peristiwa 17 Agustus 1945. Tapi tahukah Anda, jauh sebelum itu sebenarnya Bangsa kita sudah berkali-kali menyiarkan proklamasi di tiap-tiap daerah yang dapat mengusir kependudukan Belanda dan Jepang di wilayah mereka. Tapi tercatat hanya 3 Proklamasi besar yang masuk dalam sejarah Indonesia, Proklamasi apa saja itu?? Mari kita simak...


1.) Proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942

Kekalahan Belanda oleh Jepang, pada Perang di Laut Jawa, membuatnya menjadi gelap mata. Gorontalo dibumi hanguskan yang dimulai pada tanggal 28 Desember 1941. Adalah seorang pemuda bernama Nani Wartabone (saat itu berumur 35 tahun) memimpin perjuangan rakyat Gorontalo dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo.

Bergerak dari kampung-kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa, Kabila dan Tamalate, mereka bergerak mengepung kota Gorontalo. Hingga akhirnya Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah takluk pada pukul 5 subuh.

Dengan sebuah keyakinan yang tinggi, pada pukul 10 pagi Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih di halaman Kantor Pos Gorontalo. Dan dihadapan massa yang berkumpul, ia berkata :

“Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban.”

Selanjutnya Nani Wartabone mengumpulkan rakyat dalam sebuah rapat akbar (layaknya peristiwa lapangan Ikada) di Tanah Lapang Besar Gorontalo untuk menegaskan kembali kemerdekaan yang sudah diproklamasikan.

Namun sayangnya ketika Jepang mendarat di Gorontalo, 26 Februari 1942, Jepang melarang pengibaran bendera Merah Putih dan memaksa rakyat Gorontalo untuk takluk tanpas syarat kepada Jepang.

Kisah Nani Wartabone terlalu panjang untuk diungkapan, walau ia di masa Jepang mengalami patah semangat ketika Jepang tak mau diajak berkompromi hingga akhirnya ia kembali ke kampung halamannya di Suwawa dan hidup sebagai petani.

Saat kekalahan Jepang oleh Sekutu, Jepang bersikap lain. Sang Saka Merah Putih diijinkan berkibar di Gorontalo dan Jepang menyerahkan pemerintahan Gorontalo kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sementara rakyat Gorontalo baru mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 1945.

Nani Wartabone memimpin Gorontalo untuk masa-masa kelam berikutnya, menghadapi pasukan Belanda yang membonceng Sekutu. Dalam sebuah perundingan di sebuah kapal perang sekutu pada tanggal 30 November 1945, Belanda menangkap dan menawannya. Ia dibawa ke Manado dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942 yaitu Proklamasi yang dibacakannya.

Namun di waktu yang berjalan, kekalahan sekutu mengubah nasibnya kelak. Ia kembali ke Gorontalo pada tanggal 2 Februari 1950. Nani Wartabone pada tanggal 6 April 1950 menolak RIS dan memilih bergabung dengan NKRI. Untuk beberapa waktu ia dipercaya sebagai kepala pemerintahan di Gorontalo, hingga Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selanjutnya ia memilih untuk kembali tinggal dan bertani di desanya di Suwawa.

Tapi itu juga tak berlangsung lama. Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957. Ia terpanggil kembali untuk melawan. Namun perlawanan tak seimbang, karena pasukan Nani Wartabone kekurangan persenjataan, hingga mereka memilih untuk bergerilya di dalam hutan, sekedar menghindar dari sergapan tentara PRRI/PERMESTA.

Pada bulan Ramadhan 1958 datanglah bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Bersama pasukan-pasukan dari pusat inilah mereka berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.

2.) Proklamasi Cirebon 16 Agustus 1945

Kekalahan Jepang tinggal menghitung hari saja, setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun karena Jakarta tidak termasuk jalur perang Jepang dengan Sekutu, maka yang terlihat kekuatan bala tentara Jepang masih utuh.

Suasana Jakarta tetap mencekam bagi para kelompok pergerakan. Ada 4 kelompok illegal menurut Maroeto Nitimihardjo yang tampak saat itu, yaitu kelompok Soekarni, Kelompok Sjahrir, Kelompok Mahasiswa dan Kelompk Kaigun.

Kelompok-kelompok itu mendengar Sjahrir meminta Soekarno dan Hatta untuk mempercepat pernyataan Proklamasi sekembalinya Soekarno dan Hatta dari perundingan di Dalat, Saigon dengan Marsekal Terauchi, wakil kaisar Jepang. Namun Soekarno masih menunggu kepastian dari Laksmana Maeda tentang hal kekalahan Jepang tersebut

Hal ini membuat kelompok-kelompok illegal itu marah dikarenakan mereka melihat keraguan Sjahrir selama ini untuk menjalankan kesepakatan bahwa Sjahrirlah yang harus siap memimpin kemerdekaan dikarenakan ia bersih dari pengaruh Jepang. Hingga membuat kelompok-kelompok illegal ini, tidak termasuk Sjahrir bergerak cepat.

Terjadi beberapa pertemuan antara lain di Jalan Cikini Raya 71, di Lembaga Ecykman dan di Laboratorium Mikrobiologi (di samping pasar Cikini). Wikana dan dr. Darwis ditugaskan untuk mendesak langsung Soekarno-Hatta (tanpa perantara Sjahrir) untuk memproklamirkan kemerdekaan yang berujung dengan “penculikan” atau membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Gerak cepat yang tak ragu-ragu ini akhirnya melahirkan sebuah peristiwa di pagi hari di tanggal 17 Agutus 1945 sebagai hari kemerdekaan.

Di waktu yang berjalan cepat dalam ketidak pastian peristiwa, seorang bernama dr.Soedarsono (ayah dari Juwono Soedarsono) datang bertemu Maroeto Nitimihardjo (seperti pengakuannnya di buku berjudul “Ayahku Maroeto Nitimihardjo Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan” karangan Hadidjojo, anak Maroeto) di sebuah ‘pengungsian’ bagi istri dan anaknya yaitu di desa Perapatan, sebelah barat Palimanan, 30 km jauhnya dari Cirebon tempat dr.Soedarsono berasal. Dr.Soedarsono meminta teks Proklamasi yang dibuat Sjahrir yang katanya dititipkan pada Maroeto. Namun Maroeto menyatakan tidak ada.

Hingga dr.Soedarsono menjadi berang dan berkata, “Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon.”

Dan akhirnya terkabarlah bahwa Proklamasi itu dibuat dan dibacakan oleh dr.Soedarsono pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 di alun-alun Cirebon yang dihadiri sekitar 150 orang. Sehari sebelum Soekarno membacakan Proklamasi di penggangsaan Timur 56 Jakarta.

Namun kisah yang dipaparkan Maroeto berbeda dengan kisah yang diungkap oleh Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurutnya, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya yang melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dilakukan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus 1945.

Ada sebaris teks proklamasi yang diingat oleh Des Alwi yaitu : “Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga. 

3.) Proklamasi 17 Agustus 1945

Pagi itu di jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, sudah dipenuhi dengan orang-orang yang berharap peristiwa besar akan terjadi. Jumat, 17 Agustus 1945, halaman rumah di jalan Pegangsaan Timur no.56 menjadi tempat berkumpulnya para pemuda. Sebuah tiang menjadi tatapan dan mereka berharap mimpinya akan berkibar di ujung tiang itu.

Seseorang memasuki halaman, lalu menuju ke dalam rumah. Sejenak ia mendapatkan keheningan, waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Lalu ia memasuki sebuah kamar dan mendapatinya sedang tertidur pulas. Pelan-pelan ia mengusap kaki seseorang yang terlihat lelah. Lelaki itu baru pulang pagi tadi dari Rengasdengklok.

Lelaki itu terbangun dan memandangnya. Senyumnya begitu lemah, terucap kata, “pating greges.” Tamu yang disapanya memberikan obat, setelah memeriksa ada panas di tubuh lelaki yang dibangunkannya.

Dialah seorang dokter bernama dr. R. Soeharto, dan lelaki yang mengatakan dirinya tak enak badan itu adalah Soekarno. Lalu atas persetujuan Soekarno, sang dokter memberinya sebuah suntikan chinine-urethan intramusculair. Lalu Soekarno melanjutkan tidurnya sejenak.
Pukul 9.30 pagi, Soekarno terbangun, tubuhnya terlihat lebih sehat. Ketika berjumpa dengan sang dokter, ia meminta agar Hatta segera dipanggil untuk datang.

Dengan berpakaian rapi, mengenakan pakaian serba putih (celana lena putih dan kemeja putih) dengan potongan yang saat itu popular disebut sebagai “kemeja pimpinan” dengan bersaku empat, Soekarno menyambut Hatta dan segera menuju halaman depan rumahnya. Sebuah teks Proklamasi dibacakan.

Inilah sebuah pernyataan kemerdekaan yang sebelumnya di dalam pidatonya Soekarno ada mengatakan “…sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan tanah air di tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib di tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya…”

Puncak perjuangan yang pada akhirnya harus keluar dari mulut Soekarno, sebuah bukti sejarah bahwa ia memang layak mengambil posisi untuk menyatakan itu. Karena sebelum Proklamasi ini terjadi, sebelumnya juga sudah dibacakan dua proklamasi yaitu Proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942 dan Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945. Namun kedua Proklamasi ini tidak diakui sebagai buah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam arti sebagai hari peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia
 
Top