Saya terkaget-kaget saat membaca majalah
Historia yang isinya mengungkap sejarah kelam rakyat Nusantara tempo doeloe.
Beberapa jurnal juga memuat hal yang sama. Pernah ada sebuah masa, ketika
kebiadaban melekat erat jadi tradisi.
Mungkin kasus ini jadi alat serang yang menyebut masyarakat primitif memang
biadab, karena itulah koloni orang barat (kulit putih) datang merubah
masyarakat jadi lebih beradab. Satu sisi yang ada benarnya, walau tidak mutlak.
Nyatanya, mereka juga sama biadabnya - dalam bentuk berbeda. Kasus penaklukan
Amerika dan Australia, atau kemudian era wild west jadi contoh
nyata.
Bagaimanapun, sejarah membantu kita belajar
dari masa lalu, mengakui kesalahan, lalu mengambil hikmah untuk menjadi lebih
baik di hari ini, dan masa depan.
Kisah kelam yang saya maksud adalah, saat nenek moyang kita pernah jadi pemburu
kepala manusia. Dan, perilaku ini menyebar dari Barat hingga Timur, dari Aceh
hingga Papua. Demikian uraiannya.
Aceh dan Sumatera
Marco Polo ternyata pernah berkunjung ke Sumatera. Dilaporkan, ia sempat
mengunjungi Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat
penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia.
Sangat berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana
masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan
pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala menjadi
pengikut ajaran Muhammad.
Dia menuliskan itu dalam catatan perjalanannya. Dia tahu catatannya akan
mengejutkan, dan mungkin tak dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai
bersumpah untuk meyakinkan pembacanya.
Selang lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra
lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh badan
seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya yakinkan Anda
bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu,”
tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara Pada
1920-an” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.
Kalimantan
Dalam naskah Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 323, diceritakan sebuah suku
pemburu kepala di Wu-long-li-dan, pedalaman Banjarmasin. Suku pemburu kepala
itu disebut orang Beaju –Be-oa-jiu dalam lafal Hokkian (Fujian) selatan–,
sebuah suku besar orang Dayak di pedalaman.
Mereka berkeliaran saat malam hari untuk memenggal dan mengoleksi kepala
manusia. “Kepala ini mereka bawa lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang
sangat takut terhadap mereka,” demikian dikutip W.P. Groeneveldt dalam
Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.
Akhirnya sempat dibuat sebuah perjanjian
antarsuku untuk menghentikan saling bunuh (habunu), memenggal kepala (hakayau),
dan memperbudak (hajipen). Perjanjian pada 1894 itu termashyur dengan nama
Rapat Damai Tumbang Anoi. Sebelumnya, beberapa suku di Borneo terkenal sebagai
pemburu kepala musuh.
Seorang penulis berkebangsaan Norwegia mengukuhkan citra itu melalui bukunya
yang terbit pada 1881, The Head-Hunters of Borneo. Dalam bukunya ini, Carl Bock
menuliskan suku-suku itu berburu kepala dengan mandau, tombak, dan perisai.
Setelah mendapatkan kepala musuh, seseorang berhak mendapatkan tato simbol
kedewasaan.
Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas
dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk
pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku
memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala).
“Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat
praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam
Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai
kepercayaan dan mitologi.”
Sulawesi
Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung
sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi
Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama
memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat
agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.
Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala
diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda
seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam
“Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).
Perburuan kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa.
Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi Manado
pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari penduduk lokal
(Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam dan rumah.
“Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di Kalimantan... Ketika seorang
kepala suku meninggal, dua potong kepala manusia yang baru dipenggal digunakan
sebagai penghias makamnya... Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling
disukai untuk rumah kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam
Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller.
Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak
terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa.
“Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace.
“Pembawaan mereka tenang dan halus.”
Ambon
Catatan sejarah memuat kisa perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari
di Seram di tahun 1648. Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah
pantai dan orang gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti,
VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas. Korban
dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon Robert
Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian. Selain itu, dia
meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang Alifuru.
Tim kembali ke Ambon tanpa hasil. Perang tetap berkobar. Dan mereka tak bisa
menjelaskan secara pasti mengapa orang Alifuru memburu dan mengoleksi kepala
musuhnya.
“Di hadapan gubernur, tim itu melaporkan hasil penelitiannya mengenai
kepercayaan orang Alifuru. Meski mengaku telah bekerja dengan baik, mereka tak
berhasil menjelaskannya secara gamblang karena orang Alifuru sangat klenik.
Mereka tak bisa memahaminya,” tulis Gerrit J. Knaap dalam “The Saniri Tiga Air
(Seram)”, Jurnal KITLV Vol. 149 No. 2 (1993).
Tim hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan bagian
tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui kapan mulanya.
Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati posisi penting dalam
kehidupan sosial dan kepercayaannya.
Anehnya, adat itu tak mereka lakukan terhadap
orang asing, baik Eropa maupun wilayah Nusantara lainnya.
Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat
baik. Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC
meski usaha itu akhirnya gagal.
--------
Uraian di atas merupakan kajian sejarah yang menarik. Bisa saja kita
keturunan dari mereka. Tapi, seperti disebut dalam catatan Marco Polo: saat
menerima kedatangan agama, contohnya Islam maka perilaku berubah jadi lebih
beradab.
Maka, apakah sekarang kita mau belajar memperbaiki atau malah terjebak
mengulang kebiadaban seperti masa lalu? Bisa jadi, tafsir dan sentimen atas
nama agama malah mengeluarkan kembali "gen biadab" lalu bertindak
irrasional. Contoh nyata terlihat pada aksi gerombolan, ormas yang brutal, kan?
Atau komentar penuh emosi di forum dan jejaring sosial internet.
Bukankah kita lebih baik bertransformasi, jadi "pemburu kepala" yang
mencari manusia-manusia pintar untuk memajukan teknologi sehingga sumber daya
alam bisa digunakan optimal untuk kesetaheraan rakyat, dan jadi bangsa yang
mandiri?