Saya baru sadar bahwa pembentukan negara baru dengan perubahan bahasa juga mempengaruhi masyarakatnya. Ketika Shalih kembali ke Timor Leste, dia memutuskan untuk bekerja di perusahaan Indonesia karena tidak bisa berbahasa Portugis maupun Tetun (bahasa Timor). Tantangan bahasa tersebut juga dialami oleh Tanju, cowok 22 tahun asal Maliana yang putus sekolah saat kelas 6 SD. Dia kurang setuju Timor Leste merdeka karena alasan yang sangat sederhana. “Sangat sulit untuk berbicara bahasa Portugis dab Tetun karena saya sendiri berbicara bahasa Buna (salah satu bahasa daerah Timor). Belajar bahasa Indonesia sangat mudah dibandingkan Portugis. Selama hidup saya sudah mendengarkan lagu-lagu Indonesia. Mungkin kalau ada lagu-lagu Portugis, saya bisa belajar lebih cepat”.
Sebaliknya Abilio, cowok 23 tahun asal Ermera yang lulusan SMP, sangat pro Indonesia sesederhana karena, “ Produk Indonesia jauh lebih baik daripada negara lain. Celana jin dan sepatu saya buatan Indonesia, kualitasnya sangat bagus”. Berdasarkan kecintaannya terhadap produk Indonesia, ia selalu memutuskan bekerja dengan orang Indonesia dan bahkan ingin menikahi gadis Indonesia. “ Saya tidak mendukung kemerdekaan karena orang-orang byang menginginkan kemerdekaan hanyalah para politikus. Kami orang biasa sebenarnya tidak peduli siapa yang mengatur negara selama kami bisa makan. Tapi buktinya, setelah merdeka kami semakin miskin karena tidak mampu dengan diberlakukannya dolar Amerika Serikat. Semuanya menjadi sangat mahal, terutama ketika PBB datang” jelas Abilio.
Seberapa buruk ekonomi di Timor Leste setelah kemerdekaan? Saya ngobrol dengan Felix, pria berusia 45 tahun Maubara yang mata pencahariannya beternak. “Ini babi dulu dijual Rp.5000,00 (50 sen US$), tapi sekarang harganya US$ 50. Tapi, dengn US$ 50 tidak cukup untuk membiayai seluruh keluarga, semua habis sebelum satu bulan. Beras, makanan, dan listrik sangat mahal sekarang. Saya tidak tahu mengapa saya merasa kaya sebelum dolar diterapkan,” katanya sedih. Duh, saya benar-benar tidak yahu harus berkata apa lagi, saya bahkan tidak bisa membeli babinya.
Sebaliknya, saya ngobrol dengan Abdul, pria berusia 52 tahun, seorang pria Indonesia asal Jakarta yang bekerja sebagai koki di sebuah restoran di Dili. Karena masalah pribadi, ia melarikan diri ke Timor Leste pada 2005. Dengan 20 tahun pengalamannya bekerja di hotel dan kapal pesiar, ia memutuskan untuk mencari kesempatan di Timor Leste karena merupakan negara baru dan tidak jauh dari Indonesia. “Saya dapat uang dalam Dolar Amerika sehingga dapat nabung lebih banyak untuk membelanjakannya di Indonesia. Di sini gampang dapat uang. Para staf PBB doyan makan siang di sini, meskipun di sini sitemnya US$ 1 per piring, pada akhirnya mereka membayar US$ 10 per orang karena saya membuat hidangan dalam porsi kecil dan tidak termasuk minuman,” jelasa Abdul cekikian. Dia berencana membuka sebuah ballroom untuk pesta atau pernikahan karena banyaknya permintaan. Dia juga berencana melepaskan kewarganegaraan Indonesia. “Kalau saya memiliki Paspor Timor Leste, saya bisa dengan mudah bekerja dan bisa jalan-jalan keliling Eropa,” tambahnya.
begitulah kadang apa yang di beritakan atau kita bayangakan tak sama setelah kita berada pada kenyataannya. sip tulisanya mas
ReplyDeletetrims sudah berkunjung
Delete