Tragedi Tsunami Aceh menyisakan banyak kisah
yang mengharukan, sekaligus jadi bahan renungan. Dan setiap bencana biasanya
diikuti perjuangan penuh kesedihan untuk menata lagi kehidupan yang mendadak
berada di titik nol.
Hebatnya, ada individu-individu yang meski
didera kesusahan namun tetap melakukan sesuatu yang berguna bagi banyak orang.
Bahkan bagi orang yang sudah mati. Sang pahlawan yang dimaksud adalah Abdul
Madjid. Setiap malam Ia harus berebut tulang dengan anjing-anjing kelaparan,
agar mayat korban tsunami bisa beristirahat dengan tenang.
Beginilah kisahnya, sebagaimana ditulis
Maimun Saleh.
Ilustrasi |
Ketika malam turun
di pemakaman di Siroen, Lambaro, selalu terdengar lolongan anjing, seolah
mereka tengah berdiskusi. Disertai angin malam yang dingin, dan sunyi yang
mencekam, gambaran film horor itu seolah hadir di kawasan Aceh besar
pasca-tsunami. Pada saat itulah, Abdul Madjid menyalakan senter, lalu
mengarahkan cahaya ke kerumunan anjing itu. Ia terperangah. Anjing-anjing itu
berkelahi memperebutkan tulang-belulang manusia!
Abdul menghardik. Mereka tak peduli. Setelah dilempari batu, barulah anjing-anjing itu kabur. Abdul memungut kembali tulang yang berserakan, lalu dikumpulkan dengan alas daun pisang. Pada malam yang sunyi itu ia menguburkan tulang-tulang tersebut. Sendirian. Tapi kawanan anjing tadi berhasil membawa kabur dua tulang kaki, dua tulang tangan, dan satu tengkorak kepala.
Abdul menghardik. Mereka tak peduli. Setelah dilempari batu, barulah anjing-anjing itu kabur. Abdul memungut kembali tulang yang berserakan, lalu dikumpulkan dengan alas daun pisang. Pada malam yang sunyi itu ia menguburkan tulang-tulang tersebut. Sendirian. Tapi kawanan anjing tadi berhasil membawa kabur dua tulang kaki, dua tulang tangan, dan satu tengkorak kepala.
Peristiwa Sabtu
malam itu, dua pekan setelah tsunami menggulung Banda Aceh, terjadi di kuburan
massal korban tsunami yang terletak di Siroen, Lambaro, Aceh Besar. Lima puluh
ribu orang dimakamkan di situ, tapi penjaganya cuma Abdul Madjid seorang diri.
Pria berusia 48 tahun ini ikut membantu penguburan sejak awal. ”Tiga jam
sekali, ada jenazah masuk,” kata Abdul.
Sejak malam pertama, kawanan anjing sudah mengincar kuburan ini. Anjing-anjing itu asyik berebut daging, juga tulang-tulangnya. Abdul sedih. Ia lalu berinisiatif ronda malam seorang diri. Maklum, banyak orang yang ngeri dengan kuburan massal itu.
Tak cuma kuburan
itu yang aman, warga pun merasa sentosa. Maklum, banyak orang yang ngeri dengan
kuburan massal itu. Sang istri bahkan sempat menjauh. ”Setiap pulang, baju dan
badannya bau mayat,” Aisyiah mengisahkan kegiatan suaminya.Untung, Aisyiah kini
tak takut lagi. Yang dia cemaskan cuma biaya hidup rumah tangga. Sebab,
pekerjaan menjaga kuburan ini gratisan. Kalaupun ada yang membayar, sifatnya
sukarela.
Ilustrasi |
Abdul Madjid sempat berinisiatif menaruh dua
celengan di sisi kiri-kanan makam. Maksudnya agar para pezirah menaruh duit di
dalamnya. Duit itu kemudian dipakai Abdul Madjid untuk membeli karpet plastik,
sapu, dan berbagai peralatan bersih-bersih lainnya. Sisa uang diserahkan ke
Masjid Batul Izzati, yang berada di seberang jalan. Tapi Abdul justru dituduh
makan uang kuburan itu. ”Padahal, demi Tuhan, saya tidak melakukannya,” katanya
sedih.
Karena asap dapur seret mengepul, ia akhirnya
menjual sapinya yang laku Rp 2,4 juta. Sapi itu adalah upah atas pengembalaan
hewan ternak salah seorang warga. Dan hanya itu harta Abdul Madjid
satu-satunya. Uangnya sudah habis pula untuk berobat sang istri yang didera
penyakit jantung.
Kisah sedih seakan terus menguntit Abdul Madjid. Rumah tinggalnya dihancurkan karena pemilik tanah tak lagi memberikan izin menetap di situ. Dalam keadaan mabuk si tuan tanah ini mengusir keluarga Abdul Madjid. Kini, bersama keluarga, Abdul menetap di bekas kandang sapinya dengan perbaikan seadanya.
Kisah sedih seakan terus menguntit Abdul Madjid. Rumah tinggalnya dihancurkan karena pemilik tanah tak lagi memberikan izin menetap di situ. Dalam keadaan mabuk si tuan tanah ini mengusir keluarga Abdul Madjid. Kini, bersama keluarga, Abdul menetap di bekas kandang sapinya dengan perbaikan seadanya.
Hidup susah itu tak membuatnya meninggalkan
kuburan massal yang dia anggap sebagai kewajibannya sebagai warga. Jiwa-jiwa di
situ seakan terus memanggilnya. Hingga kini ritual ini sudah bagian dari
napasnya: mengitari kuburan, mengusir anjing yang berebut daging manusia, lalu
menguburkan tulang-tulang yang berserakan. Sendirian. Di kegelapan malam. ”Saya
ingin mencari pintu taubat di sini,” katanya sembari menerawang.
Kini kuburan yang dulu gersang itu tampak
hijau. Abdul Madjid menanaminya dengan kembang sepatu, serunai rambat, bunga
raya, dan pohon pepaya. Saban malam ia berada di situ. Sempat sepekan ia absen.
Tapi itu karena ia diserang diare berat. Tapi selebihnya ia adalah penjaga yang
setia.
-------------------
Catatan: Tulisan Maimun Saleh ini terpilih diantara empat terbaik dari 8 kisah, yang dimuat iloveaceh dalam rangka memperingati acara #8thnTsunami (8 Tahun Tsunami) tahun 2012
Catatan: Tulisan Maimun Saleh ini terpilih diantara empat terbaik dari 8 kisah, yang dimuat iloveaceh dalam rangka memperingati acara #8thnTsunami (8 Tahun Tsunami) tahun 2012
tragis
ReplyDelete